TRADISI SAPRAHAN
Tradisi saprahan dipilih menjadi satu diantara kearifan lokal yang ada di SMPN 16 Singkawang. Dengan melibatkan seluruh warga sekolah diharapkan dapat mengenalkan tradisi ini kepada seluruh tamu undangan yang hadih di acara Launching RANTAK 16. Tradisi saprahan dilakukan pada hari Kamis, 24 Februari 2022.
Tradisi makan nasi beramai-ramai di atas daun pisang atau wadah lain di lantai jamak kita temui di berbagai daerah di Indonesia. Di beberapa daerah, tradisi ini memiliki nama khusus, seperti megibung di Bali, bancakan di Sunda, dan saprahan di Kalimantan Barat.
Saprah sendiri artinya ‘berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara lesehan atau bersila secara berkelompok dalam satu barisan. Biasanya satu kelompok terdiri dari enam orang yang duduk saling berhadapan sebagai suatu kebersamaan. Saprahan sendiri terdiri dari saprahan laki-laki dan perempuan. Tradisi saprahan merupakan adat istiadat Melayu, diambil dari kata dalam bahasa Arab. Menurut kepercayaan masyarakat setempat yang berarti sopan santun, atau kebersamaan yang tinggi. Tradisi ini mengandung semangat ‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’. Filosofi itu tepat untuk menggambarkan kebersamaan dan semangat gotong-royong masyarakat Setapuk Besar yang hingga kini masih terjaga dengan baik. Ya hidangan yang tersaji akan disantap bersama-sama kelompok, membentuk seperti lingkaran bola, atau memanjang dalam persegi panjang dan tidak terputus.
Para Tamu Menikmati Hidangan Yang Sudah Disajikan
Sebagai sebuah tradisi, Saprahan yang berupa jamuan makan yang melibatkan banyak orang dan duduk dalam satu barisan, saling berhadap-hadapan, serta duduk satu kebersamaan, tentu mengingatkan kita pada filosofi “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Tak dipungkiri, tradisi dalam masyarakat Setapuk Besar sangat identik dengan agama Islam, yang teraktualisasi pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Dalam konteks ini, tradisi saprahan biasanya satu kelompok terdiri dari enam orang sesuai dengan rukun Iman. Menariknya lagi sajian yang disantap tidak menggunakan sendok, tetapi menggunakan tangan (disuap). Sedangkan untuk mengambil lauk-pauknya dilakukan menggunakan sendok.Sementara itu, untuk lauk-pauknya yang dihidangkan biasanya lima piring, yang diartikan dengan rukun Islam. Dan, yang menariknya, tidak ada perbedaan antara sajian saprahan untuk rakyat biasa dan pemimpin/tokoh di kampung, semuanya sama saja. Sebagai sebuah tradisi yang sangat Islami, tentu kita bisa menjaga dan memelihara tradisi masyarakat yang baik itu, karena melalui media saprahan juga akan saling mengenal tetangga, terjalin hubungan kekeluargaan yang kental. Dengan demikian, itu menjadi modal penting dalam dalam kehidupan bermasyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar